Tak Cukup dengan Setangkai Bunga dan Puisi

Kalau Anda pernah merasakan kasmaran tentu masih ingat momen-momen lucu, sedih, atau bahagia di masa lalu. Kata orang, saat kasmaran apapun akan terasa indah, tidak peduli omongan orang. Anda pasti pernah mendengar langgam jenaka berjudul Iki Wee Sopo yang dinyanyikan oleh legenda Campursari Didi Kempot. Kalau kita perhatikan liriknya, Wong yen lagi gandrung / Ra perduli mbledhose gunung / Wong yen lagi naksir / Ra perduli yen perang nuklir. Dapat kita maknai secara jelas apa yang ingin disampaikan oleh Didi Kempot bahwa orang jatuh cinta itu seperti memakai kacamata kuda, fokus hanya pada satu hal. Dunia dan seisinya hanya tentang pasangan kita. Mungkin karena hal ini, orang menyebut kalau cinta itu buta. Tidak memandang status, harta, atau materi? Tapi apakah benar demikian adanya?

Ada satu cerita menarik yang akan saya tuliskan di sini. Cerita tentang laki-laki dan perempuan yang sedang dilanda kasmaran. Adalah Arini, mahasiswa semester dua kala itu dan Mahardika seorang mahasiswa yang cukup tampan dan pintar. Keduanya sedang dilanda asmara, mereka berdua dikenal sebagai cinta sejati di kampusnya. Saat kali pertama menyatakan cinta, mahendra bertanya kepada Arini.

“Apa yang membuatmu bahagia?”

dengan senyuman Arini menjawab “Aku hanya ingin ada di sampingmu selalu, itu saja..”

“Yakin..?” dengan sedikit menggoda Mahardika bertanya sekali lagi..

Sambil menganggukkan kepala dengan lantang Arini menjawab “Iya, yakin… Aku tidak perlu apa-apa, tidak perlu harta, cukup dengan puisi dan bunga saja aku bahagia”

Keduanya saling tertawa lepas dan penuh kebahagiaan. Ini bisa jadi malam yang indah untuk dikenang dan diceritakan kepada semua orang nantinya. Malam ini seperti perayaan malam tahun baru saja, langit cerah, penuh kerlap-kerlip kembang api dan cahaya.

Tepat tanggal 24 Januari 2007, hari itu Mahardika terlihat sangat sibuk di depan komputernya. Sesekali dia tersenyum sambil jari-jemarinya bergerak lincah di atas papan ketik komputernya. Tak..tak..tak..tak.. bunyi ini sangat nyaring terdengar. Selama hampir tiga tahun, pada tanggal 24 setiap bulannya, Mahardika selalu menuliskan kumpulan puisi, coklat, dan setangkai bunga mawar kepada Arini.

“Aku tidak akan pernah bosan dengan puisimu.. Aku begitu merindukan coklat dan setangkai bunga yang selalu kau kirimkan tiap bulannya..”

Sejenak Arini menghentikan bicaranya.. Sejurus kemudian dia menyeka air mata… dengan sesenggukan dia kembali bicara.

“Maaf… kali ini aku tidak bisa menerima lagi puisi, coklat, dan bunga darimu. Pulanglah, sebentar lagi hujan..”

“Tee..tet…ttttapii…” dengan gemetar Mahardika menjawab.

“Pulang sana, pergi !!!.. ”

“Aku tidak butuh kamu lagi… Aku tidak butuh bunga, coklat, maupun puisi gombalmu..”

Prakkkk… Arini melempar lembaran-lembaran puisi yang dikirimkan Mahardika ke atas… Satu persatu lembaran itu berhamburan dan jatuh ke tanah, kata-kata indah di atasnya luntur karena hujan dan perlahan terseret arus air.

Mahardika hanya bisa terdiam dan mematung sendiri menahan rasa sesak. Entah ini kesedihan, kecewa, atau amarah. Kakinya mulai gemetar, kepalanya terasa berat, dan perlahan pandangannya kabur. Samar-samar dia melihat Arini menjauh, hanya terlihat bayangan, semakin menjauh dan akhirnya menghilang. Tak kuasa menahan, tubuhnya pun roboh, sambil berlutut dia meraih sisa-sisa lembaran puisi yang ditulisnya penuh rasa cinta dan harapan.

Air hujan membuyarkan semuanya, membuyarkan harapannya, dan membawa pergi doa yang ditulis dalam puisinya hanyut dan menghilang. Dengan sisa-sisa tenaganya Mahardika berupaya untuk berdiri. Tangan kanannya berupaya meraih terali pagar rumah Arini untuk bisa bangkit. Tangan kirinya menelusup kedalam kantong celana yang mulai basah karena hujan. Terlihat sebuah kotak kecil terbungkus kain berwarna merah marun bertuliskan  “Buat Arini Bungaku”. Sesaat dia membuka kotak itu, cincin di dalamnya terlihat berkilau terkena sorotan lampu. Mahardika tak bisa membendung lagi tangisnya, dengan cepat dia memasukkan benda itu ke dalam kotak pos dan pergi berlalu dengan kesedihan.

Hujan masih belum juga reda, dengan perlahan sambil memacu motornya dalam sepi malam, Mahardika berfikir dan mengerti kalau kehidupan ini tidak cukup dengan puisi dan setangkai bunga.

TammaT

NB: Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Credit: Photo by Thought Catalog on Unsplash

0 comments
9 likes
Prev post: Menempuh Hidup BaruNext post: Minggu Petang bersama Mocca

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.