Hari ini (Jumat, 20 Desember 2024) mungkin menjadi sejarah baru dalam hidup saya. Ini adalah kali pertama seumur hidup saya ada seseorang yang menyebut saya payah secara terang-terangan! Mak jleb! Begitu tajam menghujam, tanpa ampun dan belas kasihan. Atau perlu kata lain yang lebih meyakinkan untuk menggambarkan betapa saya memang seorang yang payah. Selain lelah, capek, penat, kata payah biasa juga digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan seseorang untuk menyelesaikan suatu hal.
Marah? Tidak! Kesal? Tidak juga! Meskipun ucapan tersebut dituliskan dalam pesan WhatsApp, namun saya bisa dengan jelas merasakan maksud yang ingin disampaikan oleh rekan saya. Saya memahami Beliau menulis itu dengan sangat-sangat serius, tidak bercanda.
“Payah… gitu aja nyerah… kurang tangguh…” kalau boleh menerka, mungkin itu versi lengkap yang akan disampaikan oleh beliau kepada saya.
Seharian kata-kata itu terus berdengung di kepala. Saya berupaya mencerna kata itu dalam pikiran saya. Merenungkan lebih dalam makna yang tersirat. Saya paham kata itu bukan hanya sekedar cibiran, bukan ejekan, bukan juga perundungan. Beliau pasti sangat gemas, geregetan, dan kesal karena tidak ada progress yang saya tunjukkan untuk menyelesaikan problem ini. Jujur, ketika membaca pesan Beliau, saya langsung terbakar, ada semangat yang membara untuk lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih sabar dalam segala situasi.
Sepanjang perjalanan selama enam jam lebih di kereta tujuan Semarang – Tulungagung, kata payah menjadi bahan evaluasi diri. Kata-kata ini terasa membakar saya untuk lebih bersemangat. Saya jadi teringat lirik lagu Seringai yang Berjudul Akselerasi Maksimum.
…
Tak mungkin menang besar kalau tak berani tarung besar
Takut kehilangan banyak akan membuat dirimu lumpuh.
Terbakar dingin membeku panas.
Hidup hanya sekali lakukan yang terbaik dari mu.
…
Coba Anda resapi betapa lirik lagu tersebut memberikan kita pesan untuk berani mengambil sikap. Berani mengambil resiko untuk sebuah kemenangan atau tujuan yang besar. Hidup hanya sekali, jadi kenapa kita tidak melakukan yang terbaik? Jangan jadi orang yang Payah! Jangan jadi loser!
Saya jadi teringat saat saya kuliah dulu, lagu ini pernah menjadi bahan bakar yang memicu semangat saya untuk terus berbuat maksimal. Mengorbankan banyak hal, merasakan rasa sakit, dan hasilnya Atas Berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa saya bisa menyelesaikan S1 saya dalam waktu tiga setengah tahun.
Pengorbanan tentunya dibutuhkan dalam konteks apapun. Bagi kalian yang pengen cepet lulus kuliah kalian harus rela mengorbankan waktu-waktu yang menyenangkan bersama kawan-kawan, mengurangi nongkrong, mengurangi waktu nonton drakor. Semuanya harus diganti dengan kegiatan yang terasa “pahit” yaitu membaca artikel, menulis draft skripsi. Tapi yakinlah, semakin besar usaha kalian maka semakin besar pula rasa manis yang kalian dapatkan di garis akhir nanti.
Pada akhirnya saya menyadari bahwa, memang saya payah. Ada semangat dan harapan bahwa problem yang ada harus dihadapi dengan keberanian, dan kenekatan. Nekat untuk melawan rasa sakit. Saya takut akan rasa sakit itu. Inilah yang mungkin dilihat oleh kolega senior saya, betapa saya takut akan rasa sakit, takut berada di zona tidak nyaman.
Payah! Payah! Kamu Payah! Mungkin kita sesekali membutuhkan kata-kata seperti ini dari orang-orang terdekat kita untuk membuat pikiran kita berjalan normal kembali. Terima kasih Kolega senior saya yang tak pernah lelah mendukung saya dalam banyak hal. That means a lot to me. Wallahu A’lam Bishawab. Semoga bermanfaat!