Cuma Kamu: Rhoma Irama dan 50 Tahun Soneta

Tidak dapat dipungkiri, siapapun yang lahir dan tumbuh di Indonesia pasti tumbuh dewasa bersama dengan dangdut, apalagi orang-orang seusia saya. Suka atau tidak, kami tumbuh dilingkungan yang mayoritas adalah pendengar dangdut. Maka tidak salah kalau Andrew N. Weintraub menyebut bahwa dangdut adalah musik, identitas, dan budaya Indonesia. Jeremy Wallach juga menyatakan bahwa Dangdut adalah genre musik yang populer di Indonesia yang memiliki khalayak nasional sangat besar. Sejak kecil di keluarga saya sudah terbiasa mendengarkan musik, Ibu saya senang dengan keroncong, dan lagu-lagu bergenre lawas lainnya, sedangkan Bapak lebih senang mendengarkan dangdut. Hal ini wajar karena Bapak sangat menggemari film-film Bollywood. Bisa dikatakan bahwa root musik dangdut juga terpengaruh oleh gaya-gaya musik khas India.

Lima puluh tahun yang lalu, terbentuklah sebuah grup musik yang berhasil mewarnai blantika musik Indonesia dan masih tetap eksis sampai sekarang. Yups, tepat tanggal 11 Desember 2020 Soneta Grup merayakan hari jadinya yang ke-50. Sungguh perjalanan yang sangat panjang bagi sebuah grup musik. 11 Desember tidak hanya hari spesial bagi Soneta, tetapi juga bagi sang maestro Rhoma Irama. Di hari yang sama, sang Raja Dangdut juga berulang tahun ke-74. Sebuah pencapaian luar biasa, dan memang pantas apabila Soneta dan Rhoma Irama disebut legenda.

Saya tidak akan membahas bagaimana sejarah Soneta ataupun Rhoma Irama, karena itu sudah banyak ditemukan di laman pencarian Google. Saya ingin berbagi pengalaman bagaimana tumbuh dan berkembang bersama Dangdut, terutama Soneta dan Rhoma Irama. Dulu, saat televisi di rumah saya masih hitam putih, saat itu kami harus berkumpul dan berjubel hanya untuk melihat tayangan tivi berwarna. Hanya tiga orang saja yang mempunyai tivi berwarna pada saat itu. Hiburan adalah barang yang sangat mahal di era itu. Satu-satunya hiburan gratis selain tivi adalah ketika di kampung kami ada hajatan pernikahan, atau sunatan dengan menggelar layar tancap. Saya masih ingat film pertama yang saya tonton pada saat itu adalah Satria Bergitar. Film yang begitu fenomenal saat itu, ditengah naiknya pamor Sang Raja Dangdut. Sekali lagi saya begitu terpukau betapa dahsyatnya menggabungkan cerita dengan nyanyian. Sebuah film musikal yang baru kali pertama saya tonton. Saat itu tentu referensi tentang film Hollywood ataupun Bollywood sangat sulit untuk didapatkan.

Tapi apa yang membuat saya kesengsem dengan dangdut? Dulu, saat era Metallica, new wave ataupun progressive rock, hingga pasca orde baru, dangdut masih dianggap sebagai musik “kampungan”. Saya masih ingat betul bagaimana dangdut itu dianggap sebagai musik yang norak dan representasi rakyat jelata. Jika dilihat dari gaya berpakaian, maupun aransemen musiknya dangdut memang tidak bisa terlepas dari frame Orkes Melayu yang kuno dan ketinggalan zaman. Tentu jika dibandingkan dengan band-band rock yang tenar saat itu, dangdut sangat ketinggalan. Inilah salah satu alasan kenapa anak-anak seusia saya pada saat itu juga “alergi” dengan dangdut.

Sang Raja Dangdut Rhoma Irama juga mengamini hal tersebut. Dikutip dari Dangdut Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia di halaman 110 Rhoma Irama menyatakan bahwa memang musik dangdut saat itu masih bergaya kuno dengan lirik yang tidak mendidik. Nah dari sinilah saya bisa melihat begitu visionernya sang maestro dangdut yang satu ini. Saya angkat topi untuk kejeniusan dan visi yang sangat luar biasa dari Rhoma Irama. Saat itu gaya musik Soneta memang berbeda dari kebanyakan Orkes Melayu. Beliau juga mengakui bahwa salah satu band yang menginspirasi Soneta adalah Deep Purple, sebuah band hard rock asal Inggris. Itu bisa terlihat bagaimana Soneta menggunakan peralatan elektronik semacam Gitar listrik, bas listrik, set drum seperti layaknya band hard rock pada masa itu.

Kalau kita berbicara lirik, jangan ditanya betapa hebatnya lirik-lirik lagu mereka bisa membius para penggemarnya. Dalam buku Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia Rhoma Irama menyampaikan bahwa musik (dangdut) dapat dijadikan sebagai media komunikasi, persatuan, pendidikan, dan dakwah. Saat itu saya melihat bahwa apa yang dilakukan Rhoma Irama dan Soneta adalah anti-culture, anti mainstream dan merupakan sebuah revolusi yang luar biasa dibidang musik. Bagaimana musik dangdut yang tradisional berganti menjadi lebih modern dengan lirik-lirik yang relevan dengan situasi dan kondisi kehidupan sosial. Lirik-lirik lagu Soneta dan Rhoma Irama tidak melulu bicara sakit gigi, sakit hati, hidup miskin, dan lirik-lirik sedih khas dangdut.

Lantas bagaimana perkembangan dangdut di era dangdut koplo? Saat ini, Semakin banyak bermunculan penyanyi dangdut dengan karakteristik yang berbeda, namun sebagian besar masih belum bisa setara dengan Soneta maupun Rhoma Irama. Kebanyakan masih berada pada zona nyaman. Saat ini lagu-lagu dangdut adalah hasil cover dari lagu-lagu populer Top 40’s. Belum ada penyanyi atau grup dangdut yang identik dengan gaya bermusik maupun lirik yang kuat, seperti Soneta dan Rhoma Irama. Saya yakin bahwa suatu saat nanti akan lahir Soneta dan Rhoma Irama yang lainnya. Berkarakter kuat, visioner, dan revolusioner. Semoga Soneta dan Rhoma Irama selalu panjang usia, dan terus menjadi inspirasi anak cucu kita nanti. Untuk saat ini menurut saya, kita nikmati dan kita rayakan bahwa “Cuma kamu: Soneta dan Rhoma Irama” yang bisa mewarnai hari-hari dan selalu menjadi legenda sepanjang masa.

NB: Klik pada gambar, untuk menonton duet sang Legenda Rhoma Irama dengan Penyanyi dangdut fenomenal Via Vallen.

Credit:
Photo Buku Dangdut Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia koleksi pribadi
Video Cuma Kamu Rhoma Irama Feat Via Vallen 2020

0 comments
6 likes
Prev post: NgemilNext post: Menempuh Hidup Baru

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.