Beberapa grup mulai gaduh tentang normal baru. Beberapa setuju untuk terus memperpanjang kerja dari rumah, ada yang diam saja, entah apa yang dipikirkan tiap-tiap orang pasti berbeda. Beberapa bulan bekerja di rumah sudah menjadi hal yang normal bagi saya. Adanya wacana kembali bekerja di kantor sepertinya akan membuat saya kembali belajar hal “normal” lainnya. Saat ini perasaan saya seperti anak kecil yang menangis karena permen atau es krimnya jatuh ke tanah sebelum sempat dihabiskan. Diakui atau tidak selama beberapa bulan bekerja di rumah justru saya merasa lebih produktif, lebih fokus, dan bisa mengerjakan beberapa proyek yang sebelumnya hanya ada di angan-angan saja. Lantas bagaimana selanjutnya? Jujur saja saya masih belum siap untuk menghadapi normal baru ini. Dalam bayangan saya, nanti kita akan melihat sebagian besar orang-orang di kantor, di ruang kelas, dan disemua area kampus menggunakan masker, saling jaga jarak, menghindari salaman, atau hanya sekedar saling lirik karena takut untuk berbicara dengan membuka masker.
Itu hanya imajinasi saya yang ngawur, hiraukan saja. Hal menarik yang ingin saya bicarakan di sini adalah bagaimana kesiapan kita menghadapi new normal. Secara resmi memang pemerintah belum mengumumkan kapan normal baru ini dimulai, namun geliat orang-orang sudah terlihat. Seolah bebas dari sangkar sudah banyak yang keluar rumah dan melakukan aktifitas seperti biasanya, namun yang sangat disayangkan adalah mereka masih keras kepala dengan keyakinan mereka. Tidak menggunakan masker, atau tidak jaga jarak.
Kemarin (Senin, 8 Juni 2020) saya kembali memulai aktifitas di kampus, setelah hampir tiga bulan bekerja dari rumah. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah adanya satu suasana dimana kita tidak lagi bisa merasa bebas melakukan apapun. Poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah aktifitas seperti makan, minum, atau kebiasaan kita sebelum pandemi Covid-19 merebak tidak bisa kita lakukan dengan penuh kebebasan. Saat ini saya sering kuatir dan terkadang terlalu paranoid. Sebelum pandemi Covid-19 menyebar, kadang-kadang kita dengan bebas dan tanpa rasa takut memegang benda apapun sambil makan cemilan atau makanan lainnya. Saat ini kita melihat orang lain melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan “protokol kesehatan” pasti langsung mengernyitkan dahi dan berkata dalam hati “waduh.. kok gitu ya…”
Saya mencoba untuk menganalisa, kenapa ini bisa terjadi. Salah satu yang terlintas di pikiran saya adalah prasangka seperti ini bisa saja muncul karena adanya rasa tidak aman dari diri kita. Kita merasa kuatir dan takut akan tertular atau terinfeksi virus. Saya tidak mau berlama-lama menikmati kondisi insecure (cemas dan takut) ini, selalu berfikiran positif namun harus tetap waspada. Apabila berkaca dari apa yang saya alami, kondisi insecure muncul karena adanya sugesti dari ramainya pemberitaan dan ketakutan terhadap Covid-19 di banyak media. Ketika selesai melihat berita, membaca sebuah postingan di kanal media prasangka, sugesti, dan rasa cemas itu pasti muncul. Bisa saja Anda merasakan hal yang berbeda dengan apa yang saya rasakan, namun diakui atau tidak adanya wabah corona ini dengan ekstrim telah merubah gaya hidup kita semua.
Budaya cuci tangan yang selama ini sering kita abaikan, mencegah atau membatasi diri ketika kita merasa tidak enak badan, menggunakan masker, adalah deretan aktifitas yang saat ini menjadi kebiasaan baru bagi kita. Melewati pemeriksaan dan menjalankan protokol memang sedikit menyebalkan. Melewati pemeriksaan suhu, membilas tangan kita dengan hand sanitizer di setiap pos pemeriksaan, tentu mempunyai maksud dan tujuan yang baik. Prosedur semacam ini mengurangi tingkat insecure kita tentunya. Update terus informasi, baca banyak referensi, saling menjaga, saling menghormati, dan menjaga pola makan yang sehat, dapat menjadi obat buat kita untuk mengurangi bahkan menghilangkan rasa tidak aman (insecure) yang kadang datang menghampiri pikiran kita. Kita hanya perlu membiasakan diri dan tetap optimis bahwa semuanya akan segera berlalu.
Credit:
Photo by Sarah Kilian on Unsplash